Teori Posmodernisme Jean Baudrilard; Masyarakat Konsumsi, Simulacra dan Hipperelitas
Jean Baudrilard: Masyarakat Konsumsi
Menurut
Baudrilard masyarakat konsumsi adalah masyarakat yang melakukan
konsumsi tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, akan
tetapi lebih kepada untuk membuktikan dan untuk menunjukkan kemampuan mereka
untuk mengkonsumsi sesuatu. bagi Baudrillard masyarakat melakukan konsumsi
bukan hanya sekedar pemenuhan nafsu untuk membeli berbagai komoditas, juga
berfungsi kenikmatan, berfungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri,
kekayaan atau konsumsi objek. (Fadhilah, 2011)
Seperti yang kita ketahui bahwa pada saat
sekarang ini masyarakat membeli barang bukan hanya karena nilai kegunaannya
bagi kehidupan mereka, tetapi lebih kepada gaya hidup dan trend yang muncul
akibat adanya rasa gengsi dan pamer dalam diri individu ataupun masyarakat.
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, banyak diwarnai dengan hegemoni
kegiatan konsumsi. masyarakat sekarang ini telah dipengaruhi oleh modernisasi
dan globalisasi serta dirasuki oleh keinginan-keinginan hedonisme yang hanya
mementingkan pemuasan kebutuhan akan kesenangan dari pada kebutuhan yang
benar-benar mereka butuhkan. contoh Seseorang akan cenderung membeli sepasang
sepatu yang bermerk Nike dari pada
merk sepatu ProATT. serta memilih
membeli suatu barang di Mall, Pusat Perbelanjaan atau di Minimart-Minimart dari
pada membeli di pinggir jalan dan di Pasar-Pasar Tradisional. orang yang membeli
sepatu Tiruan Nike di pinggir jalan ketika
pada suatu kesempatan orang tersebut melihat orang yang memakai sepatu dengan
merek Nike yang asli, mungkin akan
timbul perasaan malu, minder, tidak percaya diri dalam benak pemilik sepatu
murah. padahal sepatu baik itu murah maupun tidak, merk nya terkenal maupun
tidak, Nike maupun ProATT masih memiliki fungsi yang sama sebagai alas kaki, dan nanti nya akan
rusak dan kotor. merk telah menciptakan distingsi sosial dimasyarakat, ada
jarak sosial yang diakibatkan dari merk itu.
Pada masa sekarang pula masyarakat
membeli mobil misalnya sarat akan konsumsi simbol masyarakat tidak lagi melihat
dari nilai guna suatu barang, dalam hal membeli mobil pasti seseorang memilih
membeli mobil Ferrari, Aston Martin, Lamborgini dari pada membeli mobil Karimun
dan Esemka. mobil bermerk terkenal maupun tidak sama-sama memiliki fungsi untuk
mobilisasi kenapa harus mencari mobil dengan merk terkenal, kenapa tidak dengan
mobil dengan merk biasa. dalam hal pembelian pakaian juga banyak masyarakat
yang membeli pakaian yang bermerk terkenal seperti Polo Ralph, Calvin Klein,
LEA atau Van Hausen. dan harus membeli
di pusat perbelanjaan, kenapa tidak membeli di Pasar-pasar Tradional keduanya
pula memiliki nilai guna yang sama. pula apabila terdapat handphone keluaran
terbaru kebanyakan masyarakat cenderung memilih untuk mengganti handphone yang
Ia miliki, padahal handphone yang Ia milliki tersebut tidak terdapat kerusakan
dan mungkin clasifikasi handphone nya tidak jauh berbeda dengan handphone yang
ia miliki sebelumnya.
Konsumsi ini salah satu faktornya adalah
Iklan. masyarakat saat ini hampir tidak ada waktu untuk menghindari diri dari berbagai
informasi yang berkaitan dengan kegiatan konsumsi. Di rumah, di kantor atau di
kampus, kita tak henti-henti nya disodori berbagai informasi tentang konsumsi
melalui iklan di tv, koran maupun majalah-majalah. Di jalan, selain terus
melewati pertokoan dan pusat perbelanjaan, kita juga terus dihadapkan dengan
pemandangan attraktif dari promosi media luar ruang yang menghiasi jalan-jalan
dan berbagai sudut strategis kota.
Iklan mampu menciptakan ilusi karena
memunculkan gambar yang memanipulasi. Hal tersebut digunakan untuk menciptakan
realitas yang semu karena apa yang nampak di dunia nyata tidak lagi dianggap
mampu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Sebagai hasilnya kita banyak
melihat dalam iklan: anak yang tumbuh berukuran raksasa dalam waktu sekejap,
produk yang bisa terbang, tampilan tubuh yang lebih ramping, kulit yang lebih
putih.
Iklan dapat menciptakan sebuah simulasi
untuk menanamkan simbol-simbol dari objek dalam masyarakat. Pada awalnya,
barang-barang ditampilkan berdasarkan kualitas dan fungsinya. Kemudian secara
bertahap, iklan akan menciptakan cara untuk membuat tanda yang berasal dari objek dengan suatu
gaya hidup atau dengan kehidupan sosial masyarakat. Sehingga yang ditekankan
dalam iklan adalah objek dengan sesuatu yang diinginkan atau keinginan-keinginan
dari masyarakat, misalnya iklan produk tolak angin seperti yang kita ketahui
slogan mereka adalah “orang pintar minum tolak angin”, padahal belum tentu
orang pintar minum tolak angin apabila mereka mengalami masuk angin. Oleh
karena itu, iklan sangat persuasif karena seringkali secara langsung mampu
membidik hasrat-hasrat dari manusia.
Kebanyakan
orang, mungkin juga termasuk saya merasa bahwa membeli barang berharga mahal
lebih baik daripada yang murah, benda bermerek lebih baik dari yang tidak
bermerek, benda yang dijual di toko atau outlet resmi lebih baik dari yang
dijual dipinggir jalan atau di pedagang kaki lima. Berbagai alasan mungkin bisa
jadi pembenaran untuk argumen tersebut, mulai dari pertimbangan kualitas sampai
kenyamanan dalam proses membeli. Namun, disamping semua alasan tersebut, terjadi
pembedaan karena merasa jika membeli barang yang mahal dan bermerk itu dianggap
sebagai orang yang kaya dan berada.
Fenomena sosial yang lain adalah seperti
fenomena pada media sosial. Media sosial dimanfaatkan sebagai ajang pamer,
banyak masyarakat khususnya pemuda memasang Photo
Prorfile, dengan foto mereka saat sedang bergaya sambil menggunakan Gadget tertentu, seperti sedang memegang Iphone, Blackberry, sedang menyetir, sedang foto di depan mobil mewah, yang
memegang kamera SLR, dan pose lain
yang menunjukkan keberadaan, status atau prestise mereka. fenomena ini membuat
banyak pemuda lain yang ikut-ikutan untuk berpose
yang sama agar tidak dianggap kalah saing dan dianggap gaul, bisa saja mereka
yang melakukan itu dengan meminjam mobil orang atau berfoto di mobil orang yang
Ia sediri tidak tahu milik siapa karena melihat mobil tersebut keren untuk
dijadikan objek foto.
Menurut Baudrillard, Simulacra adalah
ruang konversi dari yang konkrit ke abstrak, dan sebaliknya dari yang abstrak
ke konkrit, sehingga tidak ada lagi batas antara dunia nyata dengan dunia semu (Azwar,
2014). contoh fenomena simulacra ini salah satunya adalah Cosplay. cosplay
dalam isitilah bahasa Inggris adalah costume and play yang artinya bermain
kostum. cosplay adalah seseorang atau sekelompok orang yang suka mengenakan
pakaian dan aksesoris serta merias wajah seperti yang ada pada tokoh dalam
anime, manga, dongeng dan film kartun. banyak orang menggap bahwa cosplay hanya
sebatas pemakaian kostum akan anime, manga dan dongeng, ternyata tidak sebatas
pada sebatas karakter tersebut. pelaku cosplay disebut cosplayer.
Mereka biasanya berkumpul disuatu tempat
baik itu indoor maupun outdoor dengan mengenakan pakaian cosplay mereka
masing-masing. ada yang mengenakan pakaian Naruto, Sailor Moon, doraemon, conan
dan lain sebagainya dari tokoh-tokoh anime maupun yang lainnya. selain menggenakan kostum tersebut, cosplayer juga
harus mendalami karakter dari tokoh anime tersebut. misalnya seseorang ingin
bermain kostum dengan tokoh anime yaitu Detective conan, maka cosplayer
tersebut akan mengubah semua gaya dan penampilan dirinya sama seperti detective
conan. mulai dari gaya rambutnya, yang lebat dan hitam pekat serta memiliki
sebuah kuncup kecil yang menjulang keatas, lalu mengenakan kaca mata besar
berbingkai kotak, kemudian jangan tangan yang berisi jarum bius, dan terkahir memiliki
sepatu kets sepatu converse, tipe kanvas. untuk hal gaya rambut cosplayer bisa
mengubahnya dengan cara alami atau dengan rambut palsu (wig) yang telah dibuat sesuai
dengan gaya rambut detective conan. untuk properti lainnya dapat dicari sendiri
atau dengan membeli pada yang menjualnya. setelah memenuhi gaya kemiripan
tampilan dari detective conan kemudian cosplayer meniru perilaku dari conan,
conan yang perilakunya agak pendiam, tapi cerdas, sama kali tidak tahu apa-apa
tentang musik, sangat suka dengan sepak bola, dan memiliki keberminatan
terhadap kedokteran dan kode-kode rahasia. dalam hal ini menurut penulis
membutuhkan sebuah keseriusan dan kepakaan yang sangat tinggi, karena tidaklah
mudah untuk mendalami karakter sesorang apalagi karakter yang dibuat.
Contoh lain adalah dalam perfilman,
misalnya dalam film Spongebob Squerpants,
mana mungkin ada spons bisa berbicara dan memasak burger, bintang laut yang
bisa bicara, kepiting yang bisa bicara dan memiliki uang serta menghitung uang
dan bahkan memiliki anak seekor ikan, ada api didasar laut, ada jalan raya, ada
mobil dan lain sebagainya.
HIPERREALITAS
Hiperrealitas adalah suatu keadaan dimana
hal-hal terjadi melampaui sebuah kenyataan. Hiperrealitas membuat masyarakat menjadi berlebihan dalam
mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya (Azwar, 2014). Kebanyakan dari
masyarakat ini mengkonsumsi bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena
pengaruh model-model dari iklan yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi
berbeda. Sebagai contoh kita sering melihat
adanya iklan yang selalu berlebihan dalam pengenalan sebuah produk.
Contohnya adalah iklan parfum AXE parfum yang diperuntukkan bagi kaum
lelaki pada iklan parfum ini, ketika ada seorang pria yang menggunakan
parfum Axe tiba-tiba ketika ia berjalan ditempat umum maka setiap wanita yang
mencium aroma Axe akan terasa seperti terhipnotis dan tergila-gila kepada pria
itu dan mereka menjadi agresif menghampiri pria itu sambil seperti penuh nafsu
ingin memiliki sang pria. Pada realitas sebenarnya sangat teramat
mustahil hal tersbut dapat terjadi. Selain itu juga, iklan Izzy adalah sebuah
iklan yang memperkenalkan produk parfume bagi wanita. isi dari iklan Parfume
Izzy ini adalah ketika ada seorang remaja putri yang menggunakan Izzy di
tubuhnya kemudian ia berjalan di koridor
sekolah sambil tersenyum dan para lelaki melihatnya dan mencium aroma dari
parfum tersebut reaksi dari para lelaki terhadap remaja itu pun langsung terpesona dan
berbondong-bondong untuk mendekat dan berkenalan dengannya.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, M. (2014). Teori Simulakrum Jean Baudrillard dan upaya pustakawan
mengidentifikasi informasi realitas. Jurnal
Ilmu Perpustakaan & Kearsipan
Khizanah Al-Hikmah, Vol. 2 No. 1, hlm. 38-48.
Fadhilah. (2011). Relevansi Logika Sosial Konsumsi Dengan Budaya Konsumerisme Dalam Perspektif Epistemologi Jean Baudrillard. Jurnal Kybernan, Vol. 2, No. 1, hlm.40-57.
INTERNET
http://www.kompasiana.com/bernad/contoh-essay-fenomena-postmodern-menurut-jean-baudrillard/ diaskses pada tanggal 27 maret 2016 pukul 20.00.